Bisnissawit.com – Kemitraan di perkebunan kelapa sawit saat ini masih menjadi PR besar, beragam kendala dan solusinya diulas dalam Seminar Nasional Kemitraan Kelapa Sawit yang diselenggarakan oleh Media Perkebunan di Pekanbaru, Riau pada Kamis (8/8/24).
Dalam kegiatan ini menghadirkan puluhan stakeholder dari petani sawit, pengusaha, pemerintah, asosiasi hingga akademisi. Akademisi Universitas Riau (UNRI), Ahmad Rifai mengatakan badan usaha milik desa (Bumdes) menjadi jembatan yang ideal untuk membangun kemitraan kelapa sawit yang berkelanjutan.
Menurut Rifai, solusi Bumdes sebagai solusi kemitraan kelapa sawit diawali dari karakter perkebunan sawit di Indonesia yang sudah terjadi di masa lampau.
“Kalau kita llihat pola yang dilakukan di Indonesia, mulai dari mendatangkan orang (PIR) sampai hai ini kebunnya terus berkembang, terjadilah hubungan antara rakyat dan perusahaan yang membunuh supply chain atau rantai pasok,” jelas Rifai, Kamis (8/8/24).
Pola tersebut menurut Rifai bisa menjadi ancaman jika tidak diimbangi dengan sistem kemitraan, jika petani sawit tidak didorong maka bisa membesarkan sifat kapitalisme pada perusahaan-perusahaan besar yang akhirnya menimbulkan kesenjangan.
“Struktur perkebunan kelapa sawit 55% bahkan hampir 60% itu dikuasai perkebuan rakyat, termasuk perkebunan murni. Ini berarti rakyat adalah pemasok bahan baku bagi industri kelapa sawit dan ini yang seharusnya terus kita jaga,” tuturnya.
Rifai juga menjelaskan bahwa penerapan ekonomi dalam industri kelapa sawit di Indonesia menggunakan cara ‘Palm Oil Dualistic Economy‘ yang mana campuran antara kapitalisme dan tradisional. Hal ini membuat kemitraan idealnya mensejajarkan posisi kapitalis dengan tradisional.
“Kelapa sawit dibangun dengan cara itu, bahwa perusahaan besar harus berdampingan dengan rakyat untuk membangun hal itu. Ini memang agak sulit karena rakyat berpikir ekonomi tradisional dan dipaksa untuk menuruti sifat ekonomi yang kapitalis, memikirkan untung-rugi,” kata Rifai.
Palm Oil Dualistic Economy atau konsep dualistik ini sejatinya cocok untuk kemitraan yang membutuhkan pemodal dan rakyat, adanya superior dan inverior, tetapi kedua hal ini butuh sebuah ‘jembatan’ untuk bisa bermitra.
“Kalau ini tidak didekatkan maka akan muncul keterbelakangan dan fungsi pemerintah menciptakan pola-pola kemitraan, itu harus disejajarkan harus berdampingan selamanya, kalau dipertahankan tanpa regulasi maka akan bersifat crowded,” ungkap Rifai. (*)