Bisnissawit.com – Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo terkait pabrik kelapa sawit (PKS) tanpa kebun yang dinilai merugikan petani. Saat ini PKS tanpa kebun dan tanpa kemitraan semakin banyak menjamur dan izinnya diberikan kepala daerah setempat.
Kondisi ini mendapat protes dari APPKSI karen polemik PKS tanpa kebun tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 98 Tahun 2013 bahwa PKS diwajibkan bermitra dengan petani untuk memenuhi pasokan bahan baku sebesar 20 persen.
Hal itu disampaikan Ketua Umum APPKSI AM Muhammadyah. “Karena itu, izin pendirian pabrik kelapa sawit harus mengikuti aturan yang berlaku agar tidak bermasalah di kemudian hari,” tegas Muhammadyah dikutip dari surat yang diterima Bisnis Sawit, Kamis (4/7/24).
Selain itu, dalam suratnya disebutkan, pasca terbitnya UU Cipta Kerja, proses pendirian pabrik sawit menjadi lebih ketat dari sisi lingkungan. Di sini peranan pemerintah daerah harus mengawasi perizinan Amdal bagi pabrik sawit yang akan dibangun agar tidak melanggar regulasi yang sudah berjalan.
Menurut Muhammdyah, PKS tanpa kebun menjadi polemik karena asal usul sawit yang diberikan menjadi semakin ambigu dengan menjamurnya PKS tanpa kemitraan. “Bukannya membuat petani sawit semakin untung, justru menciptakan banyak kerugian bagi petani plasma,” tukasnya.
Sebab, lanjut Muhammdyah, PKS tanpa kebun malah memberi peluang terjadi tindak pidana pencurian Tandan Buah Segar (TBS) milik perkebunan sawit yang bermitra dengan petani plasma.
APKKS menilai, kehadiran PKS tanpa kebun berpotensi mengganggu pasar bahkan berpotensi mengarah pada bentuk persaingan tidak sehat karena telah mengakibatkan terganggunya pasokan bahan baku bagi PKS yang memiliki kebun.
Menurut APKKSI, dampak negatif dari fenomena ini membuka persaingan harga yang tidak sehat, serta dapat merusak kemitraan antara PKS dan pekebun petani mandiri maupun plasma.
Selain itu, PKS tanpa kebun akan meningkatkan risiko deforestasi lahan hutan, karena masyarakat akan berlomba-lomba membuka hutan untuk menanam sawit.
“Pemerintah seharusnya bisa memberikan solusi yang lebih matang kepada permasalahan di industri kelapa sawit, dan bukan malah memberi peluang kepada persaingan yang tidak sehat,” tegas Muhammdyah.
Permasalahan ini akan terus ada dan bertambah menjadi polemik di masyarakat jika pemerintah tidak segera mengevaluasi PKS tanpa kebun.
Untuk ini, APPKSI mendesak pemerintah untuk kembali mengkaji ulang PKS tanpa kebun inti dari daftar perusahaan yang bisa dibuka dan jika melenceng dari ketentuan langsung menindaknya dengan menutupnya.
APPKSI juga mendesak, pemerintah daerah harus lebih mengawasi perizinan pembangunan pabrik sawit. Arahan ini disampaikan melalui Surat Edaran bernomor 245/2024 mengenai Monitoring Perizinan Berusaha Berbasis Risiko KBLI 10431 Industri Minyak Mentah Kelapa Sawit (Crude Palm Oil) yang ditandatangani Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian.
Dari data 285 pabrik sawit di Riau ditengarai tidak memiliki kebun inti yang dipersyaratkan oleh Kementan RI, dan masih ‘melenceng’ dari ketentuan yang diatur dalam UU. Karena itu, APPKSI Indonesia mendesak agar pemerintah memberikan sanksi tegas terhadap PKS tanpa kebun inti atau tanpa kemitraan. (*)