Jakarta, bisnissawit.com – Indonesia sebagai produsen minyak nabati terbesar sudah menjadi hal yang sering dibahas, tetapi sebagai produsen terbesar mengapa negara kita belum bisa memimpin pasar minyak nabati khususnya minyak sawit dunia?
Pembahasan tersebut disinggung oleh Direktur Eksekutif palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung dalam Special Dialogue “Strategi Meningkatkan Daya Saing Kelapa Sawit Indonesia Melalui Hilirisasi” yang diselenggarakan CNBC, Kamis (6/6/24).
Tungkot mengatakan, sejak 2018 pemerintah telah merumuskan tiga instrumen untuk meningkatkan kemampuan minyak sawit Indonesia dalam mempengaruhi pasar dunia. Ketiga instrumen tersebut yakni hilirisasi, mandatori biodiesel dan pungutan ekspor.
“Ketiga ini instrumen ini menjadi senjata Indonesia dalam mempengaruhi pasar minyak dunia,” kata Tungkot Sipayung, Kamis (6/6/24).
Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, Tungkot menilai terjadi perubahan positif yang signifikan di antaranya Indonesia berhasil menjadi influencer dunia dalam analisis dunia mengenai pasar minyak sawit dan juga minyak nabati.
“Dunia itu selalu mereferensi Indonesia untuk levy hingga mandatory biodieselnya. Itu menjadi salah satu referensi. Tanpa kita sadari kita itu sudah game changers daripada minyak sawit dunia,” ujarnya.
Ia menambahkan, sejak 2011 ada tiga jalur yang ditempuh untuk hilirisasi yakni olahan minyak kelapa sawit untuk Oleofood Complex (minyak goreng, margarin, dsb), Oleochemical Complex (detergen, sabun, dsb) dan Biofuel/Bioenergy Complex (biogas, biodiesel, dsb).
Kebutuhan tersebut menjadikan Indonesia digandrungi negara-negara Eropa untuk kebutuhan minyak sawit, Tungkot menyinggung Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia seharusnya tidak perlu analisa tentang kondisi pasar internasional.
“Caranya supaya kita menikmati harga yang bagus ialah jangan buru-buru, harus pintar mengatur iramanya supaya kita yang memimpin irama, jangan malah pasar dunia memimpin irama kita,” pungkasnya.
Untuk pertahanan harga ini sendiri, Tungkot mengatakan harus ada peran pemerintah sebagai nahkoda dari minyak sawit Indonesia di pasar dunia. Pemerintah harus jeli agar bisa mendapatkan harga yang bagus.
Selain itu, soal mandatory dan regulasi apalagi menyangkut biodiesel, Tungkot mengatakan imbas dari penetapan pemerintah bukan hanya di dinikmati oleh pelaku sawit tapi juga orang yang di luar pelaku sawit termasuk masyarakat pedesaan yang tidak terlibat di dalam industri sawit.
“Dengan industri sawit sektor-sektor lain di luar sawit juga ikut berkembang ditarik oleh lokomotif industri sawit, jadi dampak daripada industri sawit itu bukan hanya dinikmati petani sawit tapi juga dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia,” pungkasnya.
Untuk mewujudkan Indonesia menjadi pemimpin pasar minyak sawit dunia, Tungkot mengatakan harus melanjurkan mandatory biodiesel yang lebih fleksibel dan juga percepatan percepatan mandatory bioaftur yang menggunakan minyak sawit.
Apalagi terdengar isu Singapura mulai tahun depan memberlakukan kebijakan tentang penerbangan ke Singapura yang tidak menggunakan bioaftur dikenakan pajak yang lebih tinggi karena emisi yang dihasilhkan juga lebih tinggi.
Tungkot melihat hal ini adalah sebuah kesempatan bagi Indonesia sebagai pemasok bioaftur dan seharusnya menjadikan regulasi tersebut juga diterapkan di Indonesia.
“Ini yang tantangan yang harus diberikan kemudian kita harapkan nanti pemerintahan berikutnya dari Prabowo dan Gibran ini bisa direalisasikan ya,” tutupnya. (*)