Bisnissawit.com – Petani di Indonesia khususnya petani sawit dinilai masih mengalami keterbatasan dalam edukasi pengetahuan penyakit di perkebunan sawit, hal ini membutuhkan penanganan yang serius. Kondisi perkebunan di hulu sangat mempengaruhi prosesnya hingga hilir.
‘Dokter Kesehatan Perkebunan’ menjadi inisiasi yang disebutkan oleh Pelaksana tugas (Plt) Ketua Umum Dewan Masyarakat Sawit Indonesia sekaligus Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga.
Sahat menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan pembentukan dokter kesehatan perkebunan untuk industri kelapa sawit, menurutnya selama ini dia menilai jika menurunnya produktivitas sawit rakyat adalah lantaran para petani yang tidak mengetahui serta tidak mawas terhadap penyakit perkebunan itu sendiri.
Ia menambahkan bahwa kebun sawit Indonesia terlalu banyak diserang oleh ancaman virus, jamur, ganoderma, dan lain sebagainya. Sehingga dokter kesehatan perkebunan menjadi ‘dokter’ yang akan melakukan edukasi dan sosialisasi kepada para petani tentang penyakit perkebunan sawit.
Dokter kesehatan perkebunan ini juga bisa mengatasi berbagai masalah di perkebunan sawit itu sendiri sehingga diharapkan bisa memperbaiki tata kelola sawit itu sendiri.
“Siapa yang mau obatin? Kalau perusahaan mungkin bisa, tetapi para petani? Mereka enggak ngerti ganoderma, virus, dan jamur sehingga tenang-tenang saja. Ibarat kata, kalau badan kuat tapi kita tidak bisa berlari kencang, ya percuma,” jelas Sahat Seminar Sawit Series 2 bertajuk Kontribusi Hulu-Hilir Kelapa Sawit dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Nasional di Jakarta, Kamis (29/8/2024).
Sahat menyebut jika perbaikan tata kelola perkebunan sawit di bidang hulu alias hulunisasi sangat penting untuk ditata ulang. Dirinya mengaku fokus pada para petani sawit yang dianggap kurang memiliki akses luas seperti para pebisnis sawit.
Kendati demikian, Sahat menyebut jika para pebisnis sawit Indonesia bukanlah innovator, melainkan trader yang sebatas melakukan jual beli dan untung rugi saja. Sehingga, diperlukan strategi khusus untuk memperbaiki tata kelola di bagian hulu dengan berbagai langkah tepat dan aksi nyata strategis. Salah satunya adalah dengan mendatangkan pabrik-pabrik eropa yang hilir datang ke Indonesia.
“Jangan inovasi lagi karena waktunya terlalu lama. Undang saja pabrik-pabrik Eropa untuk datang ke Indonesia, sediakan kawasan ekonomi kreatif (KEK). Jadi, daripada kita inovasi yang perlu waktu dan juga karakter kita belum sampai di situ, undang saja pabrik yang sudah mapan,” kata Sahat.
Lebih lanjut, perihal tata kelola sawit, Sahat mendorong untuk mengembangkan koperasi unit desa (KUD) di perkebunan sawit untuk para petani itu sendiri. Hal ini secara hitung-hitungannya, akan mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kepada para petani itu sendiri.
“Contoh sederhana saja, kita beli pupuk 1500-2000 perak per kilo, PPN 11% 200. Kalau koperasi, dia tidak perlu bayar. Karena biayanya bisa ditarik balik. Nah itu kita enggak hitung. Padahal menguntungkan, cobalah dirikan KUD atau koperasi agar petani untung,” pungkasnya. (*)