Bisnissawit.com – BPDPKS mendukung semua pemangku kepentingan memahami aturan mencegah konflik. BPDPKS berkomitmen mendukung penyelesaian berbagai tantangan kelapa sawit, melalui pendanaan yang bertujuan meningkatkan keberlanjutan kelapa sawit.
Kepala Divisi Perusahaan BPDPKS, Achmad Maulizall Sutawijaya, menyampaikan pentingnya aturan antisipasi konflik ini, dalam acara pembukaan Seminar Nasional dan Field Trip. Dengan tema “Mengantisipasi Gangguan Usaha dan Konflik untuk Menjaga Keberlangsungan Sawit Indonesia Berkelanjutan” yang digelar oleh Media Perkebunan bersama BPDPKS.
Setiap aktivitas pendanaan BPDPKS mengikuti aturan pemerintah. Penyaluran dana PSR (Peremajaan Sawit Rakyat) telah dinaikkan dari Rp 30 juta menjadi Rp 60 juta per hektar, untuk merespons keluhan para petani.
Achmad juga menyoroti pentingnya regulasi dari pemerintahan baru Presiden Prabowo, khususnya terkait struktur organisasi BPDPKS. Saat ini, Kementerian Dewan Pengawas dan Komisi Pengarah berada dalam Menteri Koordinasi berbeda.
Seperti misalnya, Kementerian Pertanian kini berada di bawah Menteri Koordinator Bidang Pangan. Penyesuaian ini diperlukan agar BPDPKS dapat terus menjalankan perannya dalam mendukung kelapa sawit yang berkelanjutan.
Seminar ini dibuka oleh Prayudi Syamsuri, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Ditjenbun, mewakili Plt. Dirjen Perkebunan Heru Tri Widarto. Dalam sambutannya, Prayudi menjelaskan bahwa kelapa sawit unik dibandingkan komoditas perkebunan lain. Proporsi lahan yang dimiliki perusahaan dan rakyat relatif seimbang, berbeda dengan komoditas seperti karet, kakao, dan kopi, yang 90% dikelola oleh rakyat.
Terdapat dua kekuatan ekonomi di wilayah sentra kelapa sawit yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan peluang kerja, yaitu perusahaan dengan modal dari luar daerah serta masyarakat lokal yang berada di tingkat yang sama.
“Posisi berada dalam satu tapak ini membuat potensi konflik yang berakibat gangguan usaha. Potensi gangguan usaha harus diantisipasi dengan memiliki sistem peringatan dini. Jika sudah terjadi maka perlu ada upaya yang lebih besar dengan gangguan ekonom dan sosial yang berbiaya besar juga. Karena itu saya menghargai Media Perkebunan yang mengadakan Seminar Nasional Mengantisipasi Gangguan Usaha dan Konflik Untuk Menjaga Keberlangsungan Sawit Indonesia,” jelas Prayudi.
Penyebab lainnya adalah program Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM). Kebijakan ini bertujuan menjaga keseimbangan antara aspek ekonomi dan sosial tingkat tapak. Tujuan utama pemerintah adalah mencegah kesenjangan ekonomi yang dapat mengganggu kelancaran usaha.
Kunci utamanya adalah kepatuhan terhadap regulasi. Dimulai dengan memahami regulasi yang ada, sebab ketidakpahaman dapat memicu konflik. Jika pemahaman awal salah, bias dan konflik bisa semakin berkembang. Semua pihak yang terlibat harus menyelaraskan pemahaman terhadap regulasi.
Hendra J. Purba, Pemimpin Usaha Media Perkebunan, menyatakan sejarah kelapa sawit di Indonesia adalah kisah kemitraan antara perusahaan dan masyarakat sekitar perkebunan, sehingga dapat meminimalisir konflik. Namun, seiring perkembangan sektor sawit, konflik mulai muncul akibat perbedaan pemahaman terkait regulasi.
Oleh karena itu, Media Perkebunan inisiatif menggelar seminar bertema “Mengantisipasi Gangguan Usaha dan Konflik untuk Menjaga Keberlangsungan Sawit Indonesia Berkelanjutan”. Seminar ini menjadi wadah berbagi pengalaman dan mencari solusi bersama dalam menghadapi tantangan tersebut.
Hadi Dafenta, Ketua Kelompok Hukum, Perizinan dan Humas di Sekretariat Ditjen Perkebunan, mengungkapkan bahwa terdapat 25 regulasi terkait perkebunan. Namun, ada tiga aturan yang sering menjadi sumber masalah dan dilaporkan ke Ditjen Perkebunan, yaitu kewajiban pemenuhan hak atas tanah, fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar (FPKM) dan Pemenuhan Kebutuhan Bahan Baku (PKS tanpa kebun).
Terkait kewajiban Pemenuhan Hak atas Tanah, UU nomor 39 tahun 2014 pasal 42 menyatakan kegiatan usaha perkebunan dapat dilakukan setelah perusahaan mendapat hak atas tanah dan/atau izin usaha perkebunan. Jadi bila punya IUP saja sudah bisa operasional.
Frasa ini digugat di MK tahun 2015 dan MK menetapkan IUP dan HGU. Harus ada dua-duanya, pertimbangan hakim adalah tidak mungkin perusahaan perkebunan dengan penguasaan ribuan hektar tidak punya legalitas atas tanah. Legalitas lahan untuk meminimalisir konflik. UU nomor 6 tahun 2023 sudah memasukan hal ini.
FPKM menurut perizinan berusaha dibagi menjadi fase 1 sebelum tanggal 28 Februari 2007, fase 2 28 Februari 2007-2 November 2020, fase 3 setelah 2 November 2020. Fase 1 yang sudah melakukan kemitraan dianggap sudah melakukan FPKMS, yang tidak lakukan FPKMS dengan kegiatan usaha produktif.
Pada fase kedua, perusahaan telah memahami kewajiban untuk melaksanakan FPKMS, yang tercantum dalam perizinan. Ketentuannya adalah 20% dari area Izin Usaha Perkebunan (IUP). Jika di sekitar perkebunan tidak terdapat lahan masyarakat, perusahaan wajib menggantinya dengan kegiatan usaha produktif.
Pada fase ketiga, perusahaan yang menggunakan lahan dari non-HGU (Hak Guna Usaha) dan kawasan hutan tetap diwajibkan melaksanakan FPKMS. Namun, bagi perusahaan yang memperoleh lahan dengan membeli dari masyarakat, kewajiban ini tidak berlaku.
Pemenuhan kebutuhan bahan baku (Permentan 98/2013 jo 21/2017) PKS harus punya bahan baku 20% dari kebun yang diusahakan sendiri bukan milik sendiri. Bisa kebun perusahaan lain atau kebun masyarakat, syaratnya harus dilakukan budidaya sendiri oleh PKS.