Bisnissawit.com – Stok minyak kelapa sawit atau CPO mengalami peningkatan harga CPO dalam jangka pendek akibat fenomena cuaca La Nina yang saat ini terjadi. Dikutip dari Bloomberg, Selasa (17/7/24) Ahli Meteorologi Maxar Donald Keeney menerangkan bahwa cuaca La Nina diprediksi terjadi mulai September atau Oktober 2024.
Fenomena La Nina akan membuat negara-negara di Asia Tenggara mengalami curah hujan lebih tinggi, belum diketahui pasti intensitas curah hujan tetapi peningkatan yang terjadi di luar keadaan normal bisa mengganggu pekerjaan di perkebunan kelapa sawit.
Tentu hal ini mengkhawatirkan untuk mencapai potensi maksimal produksi minyak kelapa sawit, hal itu dikatakan Direktur Manajemen dari konsultan Gleanuk Economics, Julian McGill.
Ia menilai jika hujan lebat yang ditimbulkan oleh La Nina juga berisiko membuat pasokan minyak sawit terancam dan secara simultan mengerek harga dalam jangka pendek.
“Ini bisa mengakibatkan kekurangan minyak sawit, sehingga dapat mendorong harga naik dalam jangka pendek,” tuturnya.
Perkebunan sawit yang dihantam oleh berbagai hal seperti cuaca yang tidak menentu, terbatasnya ekspansi, dan pohon-pohon yang mulai menua membuat harga dari produk sawit naik lebih dari 5% speanjang tahun ini.
Hal tersebut juga membuat pasar makin rentan terhadap kemunduran yang lebih lanjut. Sebelumnya diketahuin, harga acuan sawit kontrak berjangka di Malaysia diproyeksikan menutup pada level 4.000 ringgit atau setara dengan US$856 per ton.
Proyeksi tersebut merupakan rata-rata dari survei yang dilakukan oleh Bloomberg kepada pedagang, analis dan eksekutif perkebunan.
“Faktor yang harus diperhatikan adalah cuaca dan permintaan,” tutur Direktur Godrej International Ltd. Dorab Mistry.
Berdasarkan survei, Mistry memprediksi harga sawit dapat menyentuh angka 4.200 ringgit per ton pada semester II/2024. Akan tetapi, jika dampak La Nina ternyata tidak cukup serius, maka harganya diperkirakan turun di level 3.750 ringgit per ton pada Agustus dan September.
Di sisi lain, beberapa faktor diperkirakan mempengaruhi pasar. Sedangkan jika cuaca kering di wilayah Laut Hitam yang berisiko merusak tanaman bunga Matahari dan langkah pemerintah Indonesia untuk menambahkan lebih banyak bahan bakar nabati ke dalam diesel juga berisiko mengurangi surplus ekspor minyak kelapa sawit. (*)