Bisnissawit.com – Gas metana (CH4) merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berbau. Gas metana sering disebut membuat efek rumah kaca yang berbahaya bagi atmosfer bumi dan berdampak pada krisis iklim.
Limbah uap yang dihasilkan dari proses pengelolaan di pabrik kelapa sawit juga ternyata menghasilkan gas metana tersebut, namun para pakar telah mengemukakan penelitian bahwa limbah kelapa sawit yang menghasilkan gas metana ini ternyata bisa diberdayakan menjadi sumber energi terbarukan.
Hal ini disampaikan, Pengamat Lingkungan, Petrus Gunarso. Bahkan selain limbah yang bisa diolah kembali, limbah gas metana pada kelapa sawit juga memiliki daya jual. Peluang nilai jual atau nilai ekonomis pada gas metana bergantung pada kebijakan energy mixed dan percepatan penerapan NEK sector energi.
Bagi perusahaan-perusahaan yang telah go public, misalnya TBK, pengurangan emisi GHG seringkali merupakan prasarat mendapatkan sertifikasi keberlanjutan atau sustainability. Pemerintah telah menetapkan pengampu gas metana, yaitu Ditjen EBTKE tetapi apabila dilakuakan pencampuran energi (enery mixed), misalnya dengan diinjeksikan ke dalam pipa gas alam, maka perlu koordinasi antara EBTKE dan Ditjen Migas.
“Percepatan koordinasi ke dua Ditjen ini akan mempercepat ketertarikan dunia usaha untuk melakukan impelemtasi pembangunan methane capture dan pemanfaatannya, terutama daam mengurangi emisi bukan dari hasil finansial gas metananya,” ujar Petrus pada Seminar nasional bertajuk Percepatan Pemanfaatan Gas Metana di Pabrik Kelapa Sawit yang diselenggarakan GAPKI pada Januari 2024 lalu.
Koordinasi antara Kementerian LHK, khususnya yang menangani sampah dan limbah dengan Kementerian ESDM baik EBTKE maupun migas dalam pengimplementasian NEK/Perubahan Iklim dan pencapaian target NDC sector energy jadi penentu utama bagaimana nilai ekonomi dalam pemanfaatan metana di sektor sawit.
Dedi sebagai perwakilan dari Direktur Jenderal Perkebunan Kementan mengatakan bahwa luas tutupan kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,38 juta hektare menurut Kepmentan nomor 833 tahun 2019. Namun, dalam pernyataannya Dedi mengatakan bahwapada tahun 2023 sudah meningkat menjadi 17, 23 juta hektare.
Dari luasnya lahan tutupan kelapa sawit tersebut, perkebunan rakyat menyumbang sebesar 42 persen, swasta 53 persen, dan BUMN atau pemerintah 5 persen. Kelayakan atas perkebunan rakyat disebut jadi yang paling diutaman oleh pemerintah saat ini karena memerlukan perhatian khusus. (*)