Bisnissawit.com – Serangan Ganoderma, penyakit mematikan bagi kelapa sawit, semakin mengancam perkebunan rakyat. Di tengah ancaman ini, Gerakan Petani Sadar Ganoderma muncul sebagai inisiatif mandiri untuk mengedukasi petani tentang pencegahan dan penanggulangan penyakit ini.
Namun, mirisnya, gerakan ini lahir bukan karena dorongan pemerintah, melainkan minimnya perhatian pemerintah terhadap nasib petani sawit swadaya.
“Saya sudah sadar bahaya Ganoderma sejak 2017, tapi pemerintah? Mereka bahkan tidak tahu apa itu Ganoderma,” ujar Alfath Haryono, petani sawit asal Jambi yang juga Ketua Gerakan Petani Sadar Ganoderma dalam wawancara ekslusif bersama Media Bisnis Sawit, Kamis (9/1/25).
Serangan Ganoderma menjadi ancaman nyata di lapangan, tidak hanya menyebabkan kematian pohon sawit tetapi juga mengurangi hasil panen secara signifikan.
“Saya terakhir melihat kondisi di Musi Rawas dalam satu hektare, lebih dari lima batang sawit tumbang. Itu luar biasa parah!” ungkap Alfath.
Di Jambi Barat, beberapa petani bahkan melaporkan bahwa sawit mereka yang baru berusia empat tahun sudah terkena Ganoderma.
“Ini karena mereka tidak sadar pentingnya pencegahan sejak dini. Setelah kena, baru sibuk mencari solusi,” katanya.
Alfath menilai bahwa pemerintah tidak memberikan perhatian serius terhadap masalah ini. Bahkan, menurutnya, dinas perkebunan pun tidak memahami ancaman Ganoderma.
“Saya pernah bertanya ke dinas terkait tentang Ganoderma, dan mereka tidak tahu apa itu. Mereka hanya tahu sawit dari luar, tapi tidak tahu cara menanggulanginya atau dampaknya bagi petani,” tegasnya.
Ia juga menambahkan kondisi yang lebih parah lagi yaitu dalam regulasi dana replanting BPDPKS, tidak ada satu pun penyebutan khusus terkait Ganoderma.
“Mereka hanya menyebut pupuk hayati. Petani mana yang paham? Petani tahunya pupuk itu pupuk biasa. Ini bukti bahwa pemerintah tidak serius,” tambahnya.
Petani berjuang sendiri tanpa dukungan pemerintah, petani sawit swadaya terpaksa mengandalkan upaya sendiri untuk memahami dan mengatasi serangan Ganoderma. Gerakan Petani Sadar Ganoderma pun menjadi solusi alternatif yang digerakkan secara mandiri.
“Kami lakukan pelatihan, sosialisasi, bahkan membiayai sendiri. Kami menjual kaos gerakan untuk menutup biaya operasional. Bayangkan, petani sawit yang menyelamatkan diri sendiri tanpa bantuan pemerintah!” ujar Alfath dengan nada kecewa.
Selain itu, banyak petani yang salah kaprah dalam mengelola kebun. Penyemprotan gulma yang berlebihan, misalnya, menyebabkan hilangnya serangga Elaeidobius, yang sangat penting untuk penyerbukan sawit.
“Tanpa Elaeidobius, banyak sawit mengalami partenokarpi, buah tidak berkembang sempurna. Ini masalah serius yang pemerintah juga tidak peduli,” tambahnya.
Menurut Alfath, jika pemerintah tetap abai, masa depan perkebunan sawit rakyat berada di ujung tanduk.
“Kalau perusahaan besar sih mereka punya dana untuk menangani Ganoderma. Tapi petani swadaya? Siapa yang bantu? Dinas? Tidak ada! Bahkan PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) sekarang lebih sibuk jadi konten kreator daripada turun ke lapangan,” sindirnya.
Gerakan Petani Sadar Ganoderma saat ini terus berkembang dan bahkan akan resmi berbadan hukum pada Desember 2024. Namun, Alfath menegaskan bahwa gerakan ini bukan pengganti peran pemerintah.
“Kami hanya mengisi kekosongan karena pemerintah tidak hadir. Tapi tetap, harus ada kebijakan konkret untuk membantu petani sawit swadaya menghadapi ancaman Ganoderma,” tegasnya.
Mencari Solusi di 2nd ISGANO 2025
Sebagai bentuk keseriusan dalam menghadapi ancaman Ganoderma, Alfath bersama beberapa petani sawit lainnya akan hadir di International Symposium Ganoderma 2025 (2nd ISGANO) yang akan diselenggarakan di Bandung pada 5-7 Februari 2025 mendatang. Mereka berharap dapat menemukan informasi dan teknologi terbaru dalam penanggulangan penyakit ini.
“Saya bersama beberapa petani Sawit swadaya lainnya akan hadir di ISGANO bukan sekadar datang. Karena selama ini, yang ada hanya penanggulangan sementara, padahal biaya pengendaliannya mahal dan tidak bisa dituntaskan sepenuhnya,” jelasnya.
Menurutnya, kehadiran petani swadaya di 2nd ISGANO 2025 sangat penting agar mereka bisa mendapatkan pengetahuan langsung dari para ahli.
“Petani butuh pemahaman lebih tentang bahaya Ganoderma dan cara pencegahannya, terutama mereka yang sedang dalam masa replanting. Semua petani binaan saya akan ikut serta untuk mendapatkan wawasan baru,” tegas Alfath.
Namun, tantangan utama tetap ada, yaitu biaya partisipasi.
“Kami sudah menanggung biaya hotel, transportasi, dan makan, tapi tiket masuk acara pun cukup berat bagi petani yang tidak terafiliasi dengan perusahaan. Ini petani swadaya, bukan petani mitra perusahaan yang bisa mendapat subsidi atau dukungan finansial,” katanya.
Menurut Alfath, jika pemerintah tetap abai, masa depan perkebunan sawit rakyat berada di ujung tanduk.
“Kalau perusahaan besar sih mereka punya dana untuk menangani Ganoderma. Tapi petani swadaya? Siapa yang bantu? Dinas? Tidak ada! Bahkan PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) sekarang lebih sibuk jadi konten kreator daripada turun ke lapangan,” sindirnya.
Gerakan Petani Sadar Ganoderma saat ini terus berkembang dan bahkan akan resmi berbadan hukum pada Desember 2024. Namun, Alfath menegaskan bahwa gerakan ini bukan pengganti peran pemerintah.
“Kami hanya mengisi kekosongan karena pemerintah tidak hadir. Tapi tetap, harus ada kebijakan konkret untuk membantu petani sawit swadaya menghadapi ancaman Ganoderma,” tegasnya.
Jika pemerintah tetap diam, bukan tidak mungkin petani sawit swadaya akan semakin terpuruk, dan produksi sawit nasional ikut terdampak. Kini, pertanyaannya: Apakah pemerintah akan tetap membiarkan petani berjuang sendiri? (AD)