Bisnissawit.com – Harga minyak sawit dan karet Indonesia mengalami tekanan setelah Amerika Serikat menerapkan kebijakan tarif tambahan sebagai bagian dari langkah resiprokal perdagangan. Dua komoditas unggulan ekspor Indonesia ke AS ini—yakni minyak sawit dan karet—mengalami penurunan harga signifikan.
Berdasarkan data dari Malaysian Palm Oil Board (MPOB), harga minyak sawit mentah (CPO) terus mengalami penurunan sejak awal April 2025. Pada 2 April tercatat RM 4.835 per ton, lalu turun ke RM 4.791 pada 3 April, RM 4.764 pada 4 April, dan mencapai RM 4.644 pada 7 April.
Sementara itu, harga karet di pasar Sicom juga anjlok. Pada 27 Maret 2025, harga masih berada di kisaran US Cent 195,1 per kilogram. Namun, pada 8 April, harga turun menjadi US Cent 163,1 per kilogram, seiring pelemahan kurs. Harga KKK 100% pada periode tersebut juga menurun dari Rp32.201 menjadi Rp26.884. Meski demikian, saat ini harga mulai sedikit rebound ke level US Cent 198,4 per kilogram.
Kebijakan tarif tambahan sebesar 10% untuk seluruh impor mulai diberlakukan sejak 5 April 2025. Sementara tarif tambahan khusus untuk produk asal Indonesia sebesar 32% berlaku mulai 9 April. Penerapan tarif ini menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan ekspor komoditas utama Indonesia.
Sekretaris Eksekutif GAPKINDO Sumatera Utara, Edy Irwansyah, menyatakan bahwa belum ada konfirmasi resmi terkait apakah karet remah asal Indonesia akan terkena tarif tambahan tersebut. Namun berdasarkan Harmonized Tariff Schedule Amerika Serikat, produk sejenis dari Tiongkok sudah dikenakan tarif 25%.
Data dari Kementerian Koordinator Perekonomian menunjukkan bahwa minyak sawit menempati posisi teratas komoditas ekspor Indonesia ke AS dengan nilai USD 1,229 miliar atau sekitar 6,5% dari total ekspor sawit nasional. Di urutan ke-9 ada karet dengan nilai USD 673 juta, menyumbang 23% dari total ekspor karet Indonesia ke dunia. Kedua komoditas ini dinilai rawan terkena dampak dari kebijakan tarif 32%.
Sebagai tanggapan, Indonesia memilih jalur diplomasi melalui revitalisasi perjanjian dagang ASEAN–US Trade and Investment Framework Agreement (TIFA), alih-alih melakukan tindakan balasan. Pemerintah juga mendorong kerja sama antarnegara ASEAN dalam menyikapi kebijakan tarif resiprokal yang dikeluarkan oleh AS.
Dalam pertemuan KBRI dan United States Trade Representative (USTR) pada 3 April, disampaikan bahwa USTR belum menerima arahan langsung dari Presiden Trump, namun membuka diri terhadap proposal konkret dari negara-negara mitra. Indonesia juga meminta agar komoditas seperti karet dan sawit dilihat dalam konteks rantai pasok global yang saling terhubung.
Salah satu isu yang disorot oleh USTR adalah keberadaan bea keluar atas ekspor produk ke AS. Didorong agar Indonesia mempertimbangkan pembebasan bea keluar sebagai langkah proteksi industri dari efek tarif tambahan, meskipun ini berpotensi mengurangi penerimaan negara. Nilai devisa ekspor produk lemak dan minyak ke AS mencapai USD 1,78 miliar dengan bea keluar senilai lebih dari Rp440 miliar.
USTR juga menyampaikan keberatannya atas kebijakan retensi devisa hasil ekspor sesuai PP Nomor 8 Tahun 2025, karena dinilai memengaruhi arus kas perusahaan. Meski kewajiban retensi ditingkatkan, pelaku usaha sebenarnya tetap bisa menggunakan dana tersebut untuk kebutuhan operasional dan pengurang kewajiban retensi.
Pemerintah menyatakan bahwa sosialisasi terkait kebijakan ini perlu ditingkatkan, terutama kepada perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di Indonesia.
Sektor perkebunan menjadi yang paling terdampak oleh kebijakan DHE, dengan 567 kode HS dan nilai ekspor ke AS pada 2024 mencapai lebih dari USD 4 miliar. Ini setara dengan 57,5% dari total devisa ekspor sektor tersebut.
Di sisi lain, Amerika juga menyoroti kebijakan Indonesia yang membatasi impor gula secara ketat. Pembatasan ini dilakukan berdasarkan perkiraan produksi dan konsumsi dalam negeri, dengan tujuan melindungi industri lokal.
Namun, hal ini dianggap membatasi akses pasar bagi eksportir AS dan negara lain. Saat ini, hanya industri makanan yang dapat mengimpor raw sugar untuk diolah menjadi gula rafinasi, itupun dengan persyaratan yang sangat ketat.
Perusahaan makanan wajib menggunakan gula rafinasi lokal sebelum diizinkan mengimpor. Pemerintah Indonesia masih menunggu masukan dari kementerian terkait untuk merespons isu ini secara komprehensif. (*)