6 Maret 2025
Share:

Bisnissawit.com – Produksi kelapa sawit yang tinggi sering kali menghadapi tantangan dalam ketersediaan bunga jantan yang cukup untuk mendukung proses penyerbukan. Ketidakseimbangan antara jumlah kumbang penyerbuk Elaeidobius kamerunicus (EK) dengan banyaknya bunga betina dapat menghambat pembentukan buah secara optimal.

Hal ini disampaikan oleh Indra Syahputra, Kepala Riset PT Socfindo, dalam 2nd ISGANO 2025 yang digelar oleh Media Perkebunan dan P3PI.

Faktor-faktor seperti kepadatan tanaman yang tinggi, penggunaan pestisida berlebihan, serangan hama tikus, keterlambatan pemangkasan, serta kondisi lingkungan yang kurang mendukung, menjadi penyebab rendahnya tingkat penyerbukan alami.

Untuk mengatasi hal ini, berbagai metode telah diterapkan, termasuk penyerbukan bantuan (aspol), sistem sarang (hive system), pemangkasan selektif, penggunaan estragole (feromon), serta teknik Hatch and Carry Mobile (HCM).

Metode HCM dilakukan dengan membiakkan kumbang penyerbuk secara terpusat di setiap kebun atau unit lebih kecil seperti divisi.

Tujuan utama dari sistem ini adalah memastikan populasi kumbang berkembang optimal sebelum dilepaskan ke lapangan. Prosesnya diawali dengan penggunaan kantong penetasan berbahan organza dengan ukuran 60 x 60 x 60 cm.

Bunga jantan dari tanaman kelapa sawit tua yang telah memasuki masa antesis dipanen, dipisahkan dari batangnya, lalu ditempatkan dalam kantong penangkaran. Kantong ini diperbarui setiap 14 hari sekali.

Pengumpulan EK dilakukan setiap pagi dan berulang beberapa jam kemudian. Kumbang yang berhasil dikumpulkan ditempatkan dalam kantong aklimatisasi sebelum dilepaskan ke lapangan.

Dalam satu siklus 14 hari, setiap kantong dapat menghasilkan rata-rata 104.000 kumbang atau setara dengan 20.784 kumbang per bunga jantan setelah antesis. Pelepasan kumbang dilakukan dengan menyesuaikan dosis sekitar 12.000 EK (10 gram) per hektar.

Baca Juga:  CSRA Gelar RUPS 7 Mei 2025, Ini 4 Agenda Penting yang Dibahas

Hasil penerapan metode ini menunjukkan peningkatan signifikan dalam produksi tandan buah segar (TBS). Di Kebun Tanah Gambus, produksi meningkat sebesar 4,4 ton/ha/tahun (19%), sedangkan tanpa HCM hanya 1,8 ton/ha/tahun (9%).

Kebun Aek Loba mencatat kenaikan produksi hingga 6 ton/ha/tahun (27%), Bangun Bandar meningkat 3 ton/ha/tahun (31%), dan Kebun Seunangan mencapai peningkatan tertinggi sebesar 6,96 ton/ha/tahun (47%).

Dari segi biaya, metode HCM lebih ekonomis dibandingkan teknik penyerbukan manual atau asisten polinasi, dengan total biaya sekitar Rp934.336/ha/tahun. Dengan efektivitas yang tinggi dan biaya yang lebih rendah, Hatch and Carry Mobile menjadi solusi unggul dalam meningkatkan produktivitas kelapa sawit secara berkelanjutan.