Bisnissawit.com – Di tengah pencapaian sektor kelapa sawit sebagai penyumbang devisa terbesar dan penyerap tenaga kerja nasional, muncul kekhawatiran serius terhadap masa depan industri ini akibat ketidakpastian hukum yang terus membayangi.
Dalam Diskusi May Day 2025 bertajuk Ekonomi Menghimpit, Buruh Menjerit yang digelar Konfederasi Sarbumusi, Ketua Bidang Sumber Daya Manusia Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Sumarjono Saragih, menyebut bahwa industri sawit saat ini sedang berada dalam kondisi yang sangat mencemaskan.
“Industri sawit adalah sektor besar, tapi saat ini dikelola dalam suasana ketidakpastian yang tidak proporsional. Ini bukan semata ketidakpastian ekonomi yang bisa dihitung risikonya, melainkan ketidakpastian hukum yang tidak terukur,” ujarnya.
Sumarjono menambahkan, situasi ini mengganggu iklim investasi dan berpotensi menekan pelaku usaha serta tenaga kerja. Salah satu isu krusial yang mencuat adalah adanya indikasi sekitar 3 juta hektare kebun sawit—baik milik korporasi maupun petani plasma—dinyatakan masuk kawasan hutan. Beberapa lahan bahkan telah dipasangi plang penyitaan oleh negara, meskipun sebagian telah mengantongi hak guna usaha (HGU).
Menurutnya, jika lahan-lahan tersebut tidak dapat dikomersialkan, maka akan muncul CPO hitam alias minyak sawit yang tidak bersertifikasi keberlanjutan. Ini bisa memicu penolakan dari pasar global yang semakin ketat terhadap aspek sustainability.
Lebih jauh, Sumarjono memaparkan bahwa industri sawit yang mengelola sekitar 16 juta hektare lahan saat ini melibatkan sekitar 16 juta tenaga kerja, termasuk pekerja langsung, tidak langsung, dan sektor hilir. Dengan asumsi 1 hektare lahan membutuhkan 1 tenaga kerja, maka jika 3 juta hektare tidak lagi produktif, ada potensi kehilangan pekerjaan dalam jumlah yang sangat besar.
“Situasi ini seperti pesawat yang terus-menerus berada dalam turbulensi berat. Penumpang hanya bisa pasrah, dan jika terlalu lama dibiarkan, risikonya bisa fatal: pesawat jatuh,” tegasnya.
Dalam menghadapi kondisi tersebut, GAPKI bersama konfederasi serikat buruh seperti Sarbumusi mendorong pembentukan platform bersama yang menekankan kepatuhan perusahaan dan perlindungan hak pekerja. Kolaborasi ini bahkan mendapat apresiasi dari ILO sebagai langkah maju dalam tata kelola sektor sawit yang kompleks.
Namun, langkah proaktif ini terancam terhambat oleh kebijakan yang tidak konsisten. Sumarjono mengingatkan, jika Indonesia terlalu menekan investor domestik yang sudah berkontribusi nyata, sementara di saat yang sama gencar mencari investasi asing, maka akan muncul paradoks yang merugikan kepentingan nasional.
“Dalam ekosistem sawit, 42 persen lahan dimiliki oleh petani dengan beragam skala. Apakah mereka akan dibiarkan berjuang sendiri di tengah ketidakpastian ini?” ujarnya. Di sisi lain, 58 persen lahan korporasi juga tengah berproses mendapatkan sertifikasi RSPO dan ISPO sebagai upaya menunjukkan kepatuhan.
Sumarjono menekankan bahwa industri sawit adalah bagian penting dari perekonomian nasional yang tak boleh gagal.
“Sawit adalah kita. Jika pemerintah tidak segera bertindak dengan kebijakan yang adil dan menyeluruh, maka risiko kegagalan sistemik di sektor ini tidak bisa dihindari,” tutupnya.