Jakarta, bisnissawit.com – Sangkleh pada tanaman kelapa sawit pernah terjadi pada tahun 2015-2016 di beberapa wilayah Indonesia, khususnya wilayah Kalimantan. Setelah kejadian tersebut Kalimantan dan sekitarnya mengalami musim kemarau panjang.
Karenanya, sangkleh kelapa sawit memiliki efek luar biasa pada usia lebih dari 10 tahun. Musim penghujan yang datang setelahnya kemudian menghilangkan fenomena tersebut. Lantas, apa yang dimaksud dengan Sangkleh pada kelapa sawit?
Pengertian Sangkleh Kelapa Sawit
Dilansir dari mediaperkebunan.id, Sangkleh atau Food Fracture/Frond Snapping adalah nama lain dari fenomena patahnya pelepah pada tanaman kelapa sawit. Patah pelepah sendiri memang kerap terjadi di beberapa perusahaan berbagai wilayah, mulai dari Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah.
Penyebab Sangkleh
Sangkleh pada kelapa sawit diduga karena terjadinya kekurangan air atau water deficit. Diketahui, saat terjadi sangkleh tidak ada perlakuan khusus kecuali perbaikan konservasi tanah dan air serta tunas pelepah patah yang kering.
Namun, setelah dilakukan hal tersebut patah pelepah kembali terjadi pada Maret 2018 di Kalimantan. Kemudian pada bulan Oktober 2018 ditemukan sebanyak 28-36 persen patah pelepah terjadi lebih rendah jika dibandingkan pada bulan Agustus yang terjadi sekitar 33-43 persen.
Sejauh ini, analisis pengamatan yang telah dilakukan mengarahkan penyebab terjadinya sengkleh pada tanaman sawit disebabkan oleh dua faktor, yaitu cekaman kekeringan dan ketidakseimbangan hara.
Cekaman kekeringan yang berdampak pada patah pelepah selalu disebabkan oleh water defisit > 200 mm, jumlah hari tidak hujan/dry spell >20 hari, dan curah hujan < 60 mm/bulan. Hal ini didukung oleh beberapa literature yang menyebutkan patah pelepah sering terjadi pada musim kering yang ditandai dengan defisit air >200 mm/tahun, curah hujan <60 mm/bulan dan hari terpanjang tidak hujan/kd>20 hari.
Sengkleh atau petah pelepah merupakan dampak global kekeringan yang melanda Indonesia pada periode tertentu. Kekeringan mengakibatkan biosintesis protein dan klorofil terganggu karena cekaman air yang mempengaruhi laju pertumbuhan tanaman.
Karenanya, areal pertanaman kelapa sawit yang mengalami fenomena El Nino (umumnya terdapat di selatan khatulistiwa Indonesia: Lampung, Sumatera Selantan, Jambi, Jawa Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan) mengalami penurunan produktivitas. Rata-rata penurunan produksi kelapa sawit pada areal tersebut berkisar 15-30 persen, bahkan bisa mencapai 60 persen.