13 Desember 2024
Share:

Bisnissawit.com – Tim pemberdayaan masyarakat adalah upaya perusahaan dalam mengantisipasi konflik perkebunan. Pembentukan tim ini dengan profesional bisa mengambil keputusan manajemen maupun lapangan. Konflik di perusahaan perkebunan biasa terjadi secara terpimpin dan natural. 

Tidar Bagaskara dari Perkumpulan Praktisi Profesional Perkebunan Indonesia menyampaikan, perihal ini pada Seminar Nasional dan Field Trip Mengantisipasi Gangguan Usaha dan Konflik untuk Menjaga Keberlangsungan Sawit Indonesia Berkelanjutan. Event ini diselenggarakan Media Perkebunan dan BPDPKS di Medan.

Tim ini perlu menguasai agribisnis kelapa sawit, memahami aspek teritorial, legalitas, regulasi terkini, kondisi geografis lahan, sosial ekonomi masyarakat, potensi konflik, hubungan dengan pemerintah, penyelesaian masalah, hubungan masyarakat, dan kearifan lokal. Mereka juga harus dapat melaksanakan program dengan baik, memperoleh kepercayaan dari manajemen puncak, dan mampu berkomunikasi secara efektif hingga ke level tersebut.

Bentuk konflik perkebunan kelapa sawit adalah masalah agraria, tuntutan kebun plasma, kecemburuan sosial, FPKMS, tuntutan kepedulian sosial ekonomi masyarakat sekitar, tuntutan tenaga kerja, tuntutan lingkungan hidup (amdal).

Hampir semua negara menghadapi konflik agraria antara pemerintah, masyarakat lokal dan pendatang. Hal ini terkait penguasaan dan pengusahaan lahan yang berhubungan erat dengan eksistensi dan sumber ekonomi.

Untuk mengatasi dan mencegah konflik agraria di sektor perkebunan kelapa sawit, pemerintah menerapkan berbagai langkah inovatif, seperti UU Cipta Kerja, Kebijakan Satu Peta. dan program sertifikasi lahan. ISPO juga menetapkan legalitas lahan sebagai syarat sertifikasi. Perusahaan wajib mematuhi regulasi, termasuk legalitas lahan dan usaha. Dengan harapan dua aspek tersebut, konflik agraria dapat terurai.

Tuntutan pembangunan kebun plasma muncul saat perpanjangan HGU (hak guna usaha), terutama karena kewajiban FPKMS (Fasilitas Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar) 20% yang belum terpenuhi oleh perusahaan. Selain itu kecemburuan sosial akibat keberhasilan warga transmigran dalam mengelola kebun plasma.

Baca Juga:  Menurun, Harga TBS Provinsi Riau Saat Ini Rp2.822,95

Jika lahan untuk memenuhi kewajiban plasma dan FPKMS tidak tersedia, perusahaan dapat menjalin kemitraan dengan membina kebun swadaya dan masyarakat pemilik lahan di sekitar perkebunan (di luar kawasan hutan). Langkah ini mencakup penguatan kelembagaan petani, pelatihan teknis, distribusi benih unggul siap tanam, penyediaan pupuk dan sarana produksi, serta perjanjian jual beli TBS. 

Selain itu, perusahaan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat melalui pendekatan berbasis kearifan lokal, termasuk aspek pemasaran, dan menjalankan program sosial seperti Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

Perusahaan perkebunan harus memperhatikan kepedulian sosial ekonomi masyarakat dengan menciptakan hubungan sosial ekonomi yang harmonis. Perusahaan tidak hanya berperan sebagai konsumen produk masyarakat, tetapi juga sebagai sponsor dalam pengembangan dan promosi budaya masyarakat setempat.

Untuk memenuhi tuntutan tenaga kerja, perusahaan melakukan perekrutan karyawan untuk posisi administrasi, keamanan, dan tenaga lapangan non-teknis. Selain itu, perusahaan juga memberikan pelatihan kepada masyarakat usia produktif untuk pekerjaan teknis kebun dan infrastruktur. Perusahaan juga menyediakan beasiswa dari tingkat SD hingga perguruan tinggi bagi masyarakat yang berprestasi