Bisnissawit.com – Kebijakan tarif tinggi dari Amerika Serikat terhadap produk kelapa sawit dinilai dapat mengganggu kestabilan industri sawit nasional. Hal ini disampaikan oleh Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumatera Selatan, Alex Sugiarto.
“Kebijakan resiprokal dari AS ini sangat membebani ekspor sawit kita. Akibatnya, produk kita jadi kurang bersaing di pasar global,” kata Alex dikutip dari Antara, Kamis (10/4/25).
Menurutnya, kenaikan tarif ini berpotensi menekan volume ekspor sawit ke AS dan berdampak langsung pada pendapatan petani maupun kontribusi daerah dari sektor tersebut. Ia juga menilai, beban tambahan dari tarif ini akan menaikkan ongkos logistik dan produksi, terutama bagi pelaku ekspor. GAPKI turut mendorong pemerintah pusat agar segera mengambil langkah strategis.
“Kami harap pemerintah bisa segera membuka jalur negosiasi dagang dengan Amerika Serikat agar tarif ini tidak berlarut-larut,” ujarnya.
Selain itu, Alex juga mengusulkan adanya insentif berupa keringanan pajak ekspor dan evaluasi ulang terhadap pungutan ekspor sawit. Ia menilai, langkah-langkah ini bisa membantu pelaku usaha bertahan di tengah tekanan global.
Walau Amerika bukan pasar utama bagi minyak sawit Indonesia—yang lebih banyak dikirim ke India, Tiongkok, dan Pakistan—Alex melihat situasi ini sebagai peluang untuk mendorong penguatan hilirisasi industri sawit di dalam negeri.
“Sumsel punya potensi besar untuk pengembangan produk turunan sawit karena letak geografisnya yang strategis. Ini bisa jadi momentum untuk mempercepat hilirisasi,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan, meski menghadapi hambatan dari AS, minyak sawit Indonesia masih memiliki keunggulan di pasar global.
“Produk kita tetap kompetitif karena negara lain, termasuk AS, juga menerapkan tarif tinggi untuk minyak nabati jenis lain,” tuturnya.