10 Januari 2025
Share:

Bisnissawit.com – Kebijakan baru pemerintah perketat aturan ekspor limbah, memprioritaskan fokus pada ketersediaan bahan baku sawit. Ekspor limbah sawit berkualitas yang akan dibatasi yakni minyak jelantah (used cooking oil atau UCO), limbah cair pabrik kelapa sawit (palm oil mill effluent atau POME), dan limbah asam tinggi atau yang biasa disebut limbah cair pabrik kelapa sawit (palm oil mill effluent dan POME), Jumat (10/1/2025).

Melansir Media Perkebunan, bersumber dari laman resmi Kementerian Perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Permendag Nomor 26 Tahun 2024 tentang Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit.

“Permendag Nomor 2 Tahun 2025 mulai berlaku pada 8 Januari 2025. Kebijakan ini ditempuh untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri minyak goreng dalam pelaksanaan program minyak goreng rakyat,” ujar Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso di Jakarta, Kamis (9//1/2025).

Sementara itu, Budi Santoso yang juga mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kemendag, berpendapat perihal itu dilaksanakan untuk mendukung implementasi penerapan biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen (B40).

“Menindaklanjuti arahan Presiden, kami menegaskan bahwa prioritas utama pemerintah saat ini adalah memastikan ketersediaan bahan baku minyak mentah   sawit atau crude palm oil (CPO bagi industri minyak goreng dan mendukung implementasi B40,” tutur Budi Santoso.

Budi Santoso mengatakan, pastinya kebijakan ini akan berdampak. Namun, Mendag menegaskan kepentingan industri dalam negeri adalah yang paling utama.

Tentu hal ini akan berdampak langsung bagi para pengusaha ekspor di bidang limbah kelapa sawit. Penegasan kepada para investor limbah sawit untuk bersiap menghadapi peraturan yang diperketat oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Baca Juga:  Harga TBS Provinsi Jambi Masih Melambung

Budi Santoso memaparkan Permendag Nomor 2 Tahun 2025 mengatur mengenai kebijakan ekspor produk turunan kelapa sawit residu, yaitu POME, HAPOR, dan UCO, termasuk syarat untuk mendapatkan persetujuan ekspor (PE). 

Berdasarkan Permendag 2 Tahun 2025 pasal 3A, telah membahas dan menyepakati kebijakan ekspor produk turunan kelapa sawit berupa jelantah dan asam tinggi (asting) dalam rapat koordinasi (rakor). 

Menteri Perdagangan melanjutkan, pembahasan pada rapat koordinasi termasuk ada dan tidaknya alokasi ekspor yang menjadi persyaratan untuk mendapat persetujuan ekspor. 

“Namun demikian, bagi para eksportir yang telah mendapatkan PE asam tinggi (asting) dan PE UCO yang telah diterbitkan berdasarkan Permendag Nomor 26 Tahun 2024, tetap dapat melaksanakan ekspor. Khusus PE-nya masih tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir, ” beber Mendag.

Perlu catatan pada Januari–Oktober 2024, ekspor POME dan HAPOR mencapai 3,45 juta ton. Volume ekspornya lebih besar daripada ekspor CPO pada periode yang sama yang hanya sebesar 2,70 ton. 

Sementara itu, pada 2023, ekspor POME dan HAPOR mencapai 4,87 juta ton. Volume ekspornya juga jauh lebih besar daripada ekspor CPO pada periode itu yang hanya sebesar 3,60 juta ton.

Ekspor POME dan HAPOR pada lima tahun terakhir  (2019-2023) tumbuh sebesar 20,74  persen, sementara volume ekspor CPO turun rata-rata sebesar 19,54 persen pada periode yang sama.

Berdasarkan data tersebut, Kementerian Perdagangan mengatakan ekspor POME dan HAPOR tercatat jauh melebihi kapasitas wajar yang seharusnya hanya sekitar 300 ribu ton.  

Hal ini menjustifikasi bahwa POME dan  HAPOR yang telah ekspor bukan murni dari sisa hasil olahan CPO saja, tetapi juga merupakan pencampuran CPO dengan POME atau HAPOR asli. 

Mendag memperkirakan, volume ekspor ini dapat terus meningkat di masa mendatang. 

Baca Juga:  Pemanfaatan POME, Limbah Sawit Jadi Energi Baru

“Jika kondisi ini terus terjadi, maka akan mengkhawatirkan  bagi  ketersediaan CPO sebagai  bahan baku industri di dalam negeri,” ujar Mendag.

Selain itu, pihaknya melihat peningkatan ekspor POME dan HAPOR juga dapat diakibatkan oleh pengolahan buah dari tandan buah segar (TBS) yang dibusukkan  atau diberondolkan langsung menjadi POME dan HAPOR. 

Menurut Mendag, kondisi tersebut  mengarah  pada  banyaknya TBS  yang  dialihkan untuk diolah oleh pabrik kelapa sawit (PKS) atau dikenal sebagai PKS berondolan.

“Hal tersebut mengakibatkan PKS konvensional kesulitan mendapatkan TBS,” tegas Menteri Perdagangan Budi Santoso.