8 Juli 2024
Share:

Bisnissawit.com – Sejumlah perusahaan bersama mengadakan diskusi dengan tema ‘Menjaga Keberlanjutan Industri Sawit dalam Pemerintahan Baru’. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) di Jakarta, Kamis (4/7/2024) lalu.

Melalui forum ini, sejumlah perwakilan dari perusahaan dan akademisi di bidang perkebunan menitipkan harapan kepada pemerintahan yang baru agar bisa memperkuat produk sawit sehingga tetap menjadi komoditas strategis bagi pasar dalam dan luar negeri.

Guru Besar IPB University Rachmat Pambudy mengatakan pemerintahan yang baru membutuhkan kebijakan proteksi maupun promosi bagi sawit yang dapat dijalankan.

“Kebijakan proteksi dapat dipilih pemerintah karena sawit seringkali dapat gangguan. Karena itulah banyak cara dapat dilakukan untuk melindungi sawit dengan cara aktif dan pasif,” ujar Guru Besar IPB University Rachmat Pambudy.

Menurut Prof. Rachmat, kebijakan proteksi dan promosi sawit perlu secara aktif dilakukan melalui dukungan pembiayaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sebab sawit dapat menjadi senjata untuk menyerang dan bertahan lantaran dapat dimanfaatkan sebagai produk makanan.

Food as weapon, sawit itu dapat dipakai secara bijaksana untuk menyerang dan bertahan. Sawit ini luar biasa karena dapat menjadi senjata,” tukasnya.

Menyangkut Badan Sawit Indonesia, Prof Rachmat mengusulkan, agar pembentukannya haruslah memiliki dasar kuat secara argument dan data. Sebaiknya, pembentukan Badan Sawit Indonesia menjadi kebutuhan bersama pemangku kepentingan sawit.

”Jadi ini (badan sawit) harus menjadi kebutuhan bersama. Pak Prabowo adalah pemimpin yang sangat menghargai fungsi demokrasi, demokrasi dilaksanakan dari aspirasi bawah sampai menjadi keputusan nasional. Aspirasi ini bukan hanya dari petani.  Kita harus tahu pembentukannya berdasarkan apa? Apakah berdasarkan Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, ini perlu dasar hukumnya,” tambah Rachmat Pambudy.

Baca Juga:  Praktisi Perkebunan Jelaskan Pentingnya Kemitraan Kelapa Sawit, Pengaruh Keberlanjutan di Masa Depan

“Namun sekarang ini, saya belum bisa mewakili siapa-siapa kecuali sebagai Guru Besar dan selaku pengurus HKTI. Saya merasa ini (badan sawit) menjadi kebutuhan dan bagian strategi menghasilkan produk unggulan yang berdaya saing,” urai Rachmat Pambudy.

Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fenny Sofyan menegaskan, industri sawit bukan hanya penting di Indonesia saja namun juga untuk global.

Menurut Fenny, beberapa tahun lalu sawit menguasai sekitar 50 persen minyak nabati dunia. Namun sekarang bahkan mencapai 60 persen di 2023.

“Artinya dependensia dunia terhadap sawit sangat tinggi,” katanya.

Hal tersebut terjadi, lanjut Fenny, karena minyak nabati kompetitor sawit yang sebelumnya membanjiri pasar juga mengalami penurunan produksi. Padahal, dalam beberapa waktu ke depan permintaan minyak nabati dunia bakal bertambah sebanyak 1 juta ton.

Terkait menghadapi Indonesia Emas 2045, kata Fenny, produksi sawit ditargetkan 92 juta ton.

“Tapi jujur saja itu susah untuk menembus itu. Harus ada komitmen bersama,” ujarnya.

Menurut Fenny, hulu ada kunci dalam industri sawit. Target 2045 tersebut adalah gencarnya hilirisasi. Tanpa hulu yang diperbaiki, produktivitas CPO nasional berdampak ke segala lini, mulai dari ekspor hingga subsidi biodiesel.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Gulat Manurung mengatakan, produktivitas sawit petani swadaya saat ini masih rendah. Di sisi lain, kebutuhan minyak sawit untuk energi di dalam negeri terus meningkat dengan adanya pengembangan biodiesel.

Apalagi, lanjut Gulat, pemerintah berencana terus melakukan pengembangan biodiesel hingga mencapai B50. Produktivitas kebun kelapa sawit yang rendah ini  dapat mengancam pasokan untuk pemenuhan minyak sawit sebagai bahan baku energi maupun pangan.

Menurut Gulat, peremajaan sawit rakyat (PSR) harus menjadi prioritas. Lewat replanting, produktivitas kepala sawit petani disebut dapat melonjak lebih tinggi. Namun, kata Gulat, kenyataannya program PSR masih jauh dari harapan.

Baca Juga:  Produksi dan Ekspor Minyak Sawit Alami Penurunan

Sejak diluncurkan pada 2017, realisasi PSR saat ini hanya mencapai 323.000 hektare (ha) dari target 500.000 ha. Tumpang tindih kebijakan, dianggap menjadi faktor utama minimnya realisasi peremajaan sawit di kalangan petani swadaya.

Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma, Direktorat Jenderal Perkebuna, Kementerian Pertanian RI, Ardi Praptono mengatakan, dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas perkebunan sawit rakyat, Pemerintah terus berkomitmen mendukung sektor perkebunan kelapa sawit melalui PSR dan Sarana dan Prasarana (Sarpras).

“Program PSR sangat penting karena berdampak langsung terhadap produktivitas. Sedangkan program Sarpras khususnya intensifikasi juga sebagai upaya peningkatan produktivitas tanaman sawit rakyat,” jelas Ardi.

Ardi menyebutkan, ada tiga langkah dapat dilakukan untuk percepatan program tersebut antara lain melakukan pendataan perkebunan kelapa sawit khususnya kebun kelapa sawit rakyat secara nasional, penyederhanaan regulasi yang menghambat capaian program, dan mendorong penambahan dana PSR. (*)