15 Desember 2024
Share:

Bisnissawit.com – Kepastian dan keberlangsungan usaha perkebunan kelapa sawit harus dijaga. Hal ini membutuhkan upaya yang serius untuk mengantisipasi gangguan usaha dan konflik perkebunan.

“Antisipasi berupa legalitas usaha perkebunan harus sesuai dengan sertifikasi lahan seperti HGU atau HGB,” ujar Amir A. Harahap, Kepala Divisi Hukum PTPN IV (PalmCo), dalam Seminar Nasional dan Field Trip bertema Mengantisipasi Gangguan Usaha dan Konflik untuk Menjaga Keberlangsungan Sawit Indonesia Berkelanjutan, yang diselenggarakan Media Perkebunan dan BPDPKS di Medan.

Menurut Amir, beberapa langkah antisipasi yang perlu dilakukan mencakup penguasaan dan pengelolaan lahan sesuai peruntukan perizinan, memiliki IUP (Izin Usaha Perkebunan), menjaga batas-batas HGU, melaksanakan program CSR untuk masyarakat sekitar, membangun komunikasi dengan pemangku kepentingan, serta menjalankan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

“Namun, kendala sering muncul dalam penerbitan HGU,” jelasnya.

Kendala tersebut meliputi adanya areal garapan oleh masyarakat, klaim masyarakat atas tanah, proses hukum atau sengketa lahan yang belum selesai, hingga indikasi lahan yang masuk ke kawasan hutan.

Saat ini, lahan PTPN Group masih banyak yang diokupansi atau digarap oleh masyarakat. Di sisi lain, PTPN dituntut untuk meningkatkan kinerja perusahaan dengan optimalisasi aset.

“BPN meminta agar lahan yang disertifikasi harus clear and clean. Karena itu, kami melakukan inventarisasi, pengamanan, dan penertiban lahan,” tambah Amir.

Untuk menyelesaikan permasalahan ini, PTPN mengambil langkah penguasaan dan optimalisasi aset, pemberdayaan masyarakat melalui kerjasama pemanfaatan aset, serta pemindahan aset dengan kompensasi.

“Caranya meliputi upaya persuasif melalui pemberian tali asih, penertiban atau pembersihan lahan, dan langkah hukum melalui pengadilan. Kami juga menerapkan skema kerjasama untuk optimalisasi lahan, pelepasan aset untuk kepentingan umum, serta skema kompensasi atau ganti rugi lainnya,” jelasnya.

Baca Juga:  Martua Sitorus, Raja Minyak Sawit Tahun 2024 Turun Peringkat Urutan Kekayaan

Penyebab utama konflik lahan perkebunan di antaranya adalah proses ganti rugi yang belum tuntas, tanah garapan masyarakat turun-temurun yang diambil alih untuk perkebunan, perbedaan luas hasil ukur dengan HGU, serta status tanah perkebunan sebagai tanah ulayat atau warisan kesultanan.

Selain itu, tanah yang tidak dikelola dengan baik dan kurang tertibnya administrasi pertanahan juga menjadi faktor pemicu.

Untuk mengantisipasi gangguan usaha, PTPN aktif menjaga hubungan harmonis dengan petani dan masyarakat melalui program PSR.

“Kami mendukung PSR seluas 60.000 hektar, melibatkan 120.000 petani plasma, terutama di Sumut dan Riau dengan total 45.000 petani,” ungkap Amir. Lewat kemitraan ini, PTPN menjamin pengelolaan berbasis single management, pendampingan teknis, penyediaan bibit bersertifikat, serta pendampingan administrasi.

“Dengan langkah-langkah ini, kami berharap keberlangsungan sawit Indonesia berkelanjutan dapat terus terjaga,” tutup Amir.