Bisnissawit.com – Kepala Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Winarna menyampaikan peringatan untuk tetap waspada kekeringan walau prediksi iklim 2025 normal, Rabu (1/1/2024).
Dikutip dari Media Perkebunan, Iklim adalah hal yang tidak bisa manusia ubah, jika bisa maka akan memerlukan biaya yang besar. Sehingga perlu dikelola dan beradaptasi dengan apa yang ada.
Winarna menyampaikan tiga unsur utama iklim bagi kelapa sawit yakni Vapour Pressure Deficit, Solar Radiation dan rainfall. Sebagai tanaman tahunan kompleksitas faktor–faktor produksi akan menyebabkan variabilitas pada parameter produksi (jumlah tandan, berat tandan, rendemen minyak).
Di wilayah Sumatera bagian utara (Sumut, Aceh, Riau), Kalimantan Barat (Kalbar), dan daerah lain di sekitar ekuator, pemupukan untuk semester 1 tahun 2025 perlu dipercepat dan disertai dengan penambahan pupuk ekstra yang lebih baik. Aplikasi bahan organik seperti tandan kosong, suplemen tanaman, serta pembuatan rorak dan konservasi tanah air sangat dianjurkan. Selain itu, diperlukan peningkatan pada fruit set di tanaman muda (TM) dan pengawalan kastrasi serta keseimbangan fruit set pada tanaman batang menengah (TBM). Hindari melakukan clean weeding yang berlebihan.
Di sentra perkebunan bagian selatan ekuator (Jambi, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Papua, dan daerah lainnya), aplikasi pemupukan untuk semester 1 tahun 2025 harus dipercepat dengan penambahan pupuk ekstra untuk mendukung pemulihan, serta penggunaan bahan organik dan suplemen tanaman. Jika terjadi kekeringan, pemupukan untuk semester 2 tahun 2025 harus segera dilakukan setelah kondisi normal. Selain itu, wajib membangun fasilitas konservasi tanah dan air pada awal tahun. Hindari melakukan transplanting pada periode pertengahan tahun (Juli-September 2025).
Pengaruh produktivitas sawit oleh faktor endogenous dan exogenous. Faktor endogenous penyebabnya sebagian besar material tanaman. Sedangkan faktor exogenous penyebabnya iklim, tanah, lingkungan biotik, dan praktek budidaya yang baik.
Pengaruh fluktuasi produksi sawit adalah produksi jumlah tandan. Ada tiga fase kritis dalam pembentukan dan perkembangan tandan sawit. Fase 1 (22-35 bulan sebelum panen) adalah fase terbentuknya sex yang dominan apakah bunga jantan atau betina. Bila terjadi kekeringan misalnya maka bunga jantan dominan.
Fase 2 (15 bulan sebelum panen) adalah penentu terus tumbuhnya bunga. Bila hujan berlebihan misalnya banyak bunga akan gugur. Fase 3 (3- 6 bulan sebelum tandan dipanen), yang akan menentukan berat tandan dan Elaeidobius kamerunicus memegang peranan penting. Selain memonitor populasi harus juga monitor aktivitasnya pada bunga betina yang anthesis. Hindarkan aktivitas sepele yang mengurangi populasi dan aktivitas kumbang ini seperti penyemprotan land aplikasi limbah pabrik langsung ke tanaman.
Kondisi lingkungan yang suboptimal (kekeringan) dan/atau manajemen budidaya yang kurang baik dapat menurunkan jumlah tandan yang berhasil dipanen. Efek lingkungan (terutama anomali iklim) dapat terjadi paling cepat 6 bulan, dengan pengaruh signifikan pada 1-2 tahun setelah kejadian anomali iklim. Besar kecilnya pengaruh iklim terhadap tanaman juga dipengaruhi bahan tanaman yang digunakan, umur, teknik budidaya dan faktor lainnya.
Dua anomali iklim yang sering berdampak signifikan pada sentra perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah El Niño-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD). Kedua fenomena ini dapat menyebabkan curah hujan yang lebih tinggi atau lebih rendah dari kondisi normal. Penurunan curah hujan cenderung terjadi apabila El Niño dan IOD positif (IOD+) terjadi bersamaan, seperti yang terakhir kali terjadi pada tahun 2023, yang menyebabkan penurunan produksi dan diperkirakan berlanjut pada tahun 2024. Sementara itu, peningkatan curah hujan umumnya terjadi apabila La Nia dan IOD negatif (IOD-) terjadi bersamaan, seperti yang terjadi pada tahun 2022. Pada tahun 2025, perkirakan tidak ada perubahan iklim yang signifikan, sehingga produksi diperkirakan akan mengalami kenaikan.