4 April 2024
Share:

Bisnissawit.com – 13 tahun pelaksanaan ISPO di Indonesia baru mencapai 0,3% sertifikasi bagi petani kelapa sawit. Dari keterangan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) seharusnya pada 2025 sudah mencapai 100 persen karena terdapat target pemerintah bahwa pada tahun sertifikasi ISPO itu bersifat wajib.

Bernadinus Steni Sugiarto selaku Ketua Kaleka mengungkapkan kendala yang dihadapi. Sertifikasi kebun yang dilakukan oleh berbagai skema saat ini adalah berbasis kebun dan rantai pasok, terdapat empat kelemahannya yaitu:

  1. Skala yang hanya memfasilitasi rantai pasok berkelanjutan secara individual masing-masing perusahaan. Masalah di luar kebun bukan masalah kebun, seperti deforestasi di luar kebun, kebakaran hutan konflik yang terjadi di luar kebun dan desa-desa sekitar konsesi;
  2. Kewenangan yang minim melibatkan otoritas setempat;
  3. Kepemilikan atau ownership yang mana pendekatan skala kebun dimiliki oleh pemilik kebun;
  4. Keadilan yang termasuk di dalamnya biaya pendekatan kebun yang terbilang mahal dan tidak terjangkau oleh petani kecil;

Dari keempat permasalahan tersebut, Steni mengatakan soal pendanaan menjadi PR besar yang membutuhkan campur tangan pemerintah.

“Biaya pendekatan kebun itu mahal, baik ISPO maupun RSPO, kalau boleh saya jujur tanpa ada dana pendampingan dari pemerintah tak mungkin petani itu sertifikasi, sangat susah mendapatkan sertifikat yang mudah,” ujar Steni dalam diskusi publik yang diselenggarakan SPKS di Jakarta, Rabu (3/4/24).

Namun, ia mengatakan kendala soal dana dalam proses sertifikasi tetap bisa diatasi bila petani sawit yang mengikuti sertifikasi ISPO dalam jumlah banyak. Steni turut menceritakan pengalaman yang telah ia lakukan untuk memperjuangkan sertifikasi ribuan petani kelapa sawit, bila mensertifikasi ISPO dengan petani sebanyak 500 petani, maka biaya yang dibutuhkan mencapai 170 US$ per hektare (ha), lain halnya bila mensertifikasi petani sawit sebanyak 2000 petani, maka biaya yang muncul hanya sekitar kurang US$ 50 US$ per hektare (ha).

“Aspek peningkatan kapasitas, pemetaan, pembentukan organisasi, dan legalitas adalah langkah krusial dalam menjaga keberlanjutan industri kelapa sawit. Aspek-aspek tersebut dapat didukung oleh pemerintah dan dikoordinasikan oleh otoritas lokal,” ujarnya.

Dalam penerapan proses ISPO dengan skala besar diperlukan untuk memastikan efisiensi maksimal. Oleh karena itu, pendekatan kewilayahan atau yuridiksi menjadi kunci dalam melaksanakan audit tersebut. Pemda memegang peran utama dalam memimpin proses ini, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pelaku industri, dan petani.

Kolaborasi ini memungkinkan saling mendukung antar-stakeholder serta memastikan implementasi kebijakan yang holistik dan berkelanjutan. Steni menambahkan, insentif menjadi bagian penting dalam mendorong partisipasi dan keterlibatan aktif dari berbagai pihak. Salah satu penerima manfaat yang signifikan adalah petani sawit swadaya.

“Dengan pendekatan skala wilayah, perusahaan-perusahaan di wilayah tersebut dapat saling berkolaborasi dan memberikan dukungan. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab Pemda untuk memfasilitasi kerjasama ini dengan menyediakan fasilitas yang diperlukan,” tutupnya. (*)

Baca Juga:  Politeknik Kelapa Sawit CWE Melakukan Pengabdian Masyarakat Bersama Kelompok Tani Hutan Kopi