20 Juni 2024
Share:

Jakarta, bisnissawit.com – Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menggelarkan Best Practice Perkebunan Berkelanjutan Berbasis Pendekatan Yurisdiksi di Jakarta, Kamis (20/6/24). Dalam workshop ini SPKS menyinggung soal sealisasi sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil System) pada perkebunan sawit rakyat yang dinilai masih sangat rendah.

Ketua Umum SPKS, Sabarudin mengatakan beberapa faktor hambatan di tingkat petani untuk memperoleh ISPO di antaranya legalitas lahan, biaya, sumber daya manusia, pemberkasan dan administrasi.

“Jadi kegiatan hari ini juga sebagai sarana belajar seperti apa penerapan yurisdiksi, kita sudah lihat ternyata kesuksesan dari penerapannya membutuhkan peran dari pemerintah,” kata Sabarudin saat wawancara dengan media, Kamis (20/6/24).

Sabarudin mewakili ribuan petani sawit yang tergabung dalam SPKS mengatakan adanya peran pemerintah baik pusat atau pemerintah daerah membuat urusan-urusan petani sawit menjadi lebih efisien dan terakomodir dengan baik.

“Misalnya tadi ada layanan SPDB gratis, percepatan pemetaan petani, kemudian pembangunan kelembagaan petani. Kita melihat di dalam daerah yang melakukan yurisdiksi itu capaian sertifikasi sawit berkelanjutan cukup besar di bandingkan kabupaten-kabupaten yang tidak memiliki komitmen kuat dalam pendekatan sertifikasi yurisdiksi,” katanya.

Ia menambahkan, keunggulan sertifikasi berbasis yurisdiksi ini lebih tepat sasaran dan hemat biaya dibandingkan sertifikasi dalam bentuk parsial atau kelompok. Bahkan, sertifikasi berbasis yurisdiksi dinilai membuka peluang lebih luas untuk petani sawit berkelanjutan.

“Sertifikasi yurisdiksi ini memungkinkan untuk dilakukan (berdasarkan) kewilayahan, baik itu tingkat kabupaten, kecamatan, atau desa. Saya kira pendekatan seperti ini akan lebih memperluas dan mempercepat sustainability. Termasuk dalam biaya, pendekatan yurisdiksi itu lebih murah,” tuturnya.

Senada dengan pernyataan Sabarudin, Direktur Eksekutif Kaleka Bernadinus Steni menyatakan telah berhasil melakukan pendekatan yurisdiksi kepada petani kelapa sawit, salah satunya di Kabupaten Seruyan, sekitar 5.500 petani swadaya telah terpetakan, 1.369 petani tersertifikasi RSPO, 862 petani telah tersertifikasi ISPO.

Baca Juga:  SPKS Raih Penghargaan Sebagai Organisasi Petani yang Bekerja Nyata Melatih Petani Sawit

Ia menuturkan, prinsip dan kriteria idealnya disesuaikan ke level kabupaten dan menyesuaikan kewenangan pemerintah daerah setempat. Kewenangan yang dimaksud antara lain seperti FPIC, hak atas tanah, tenaga kerja, penyelesaian konflik, NKT, deforestasi, hingga karhutla.

Kemudian pemerintah daerah membentuk regulasi, memimpin proses multipihak, serta menetapkan kelompok kerja yang bertugas untuk NKT, pencegahan konflik serta pemberdayaan. Selanjutnya membentuk ICS per wilayah.

Selain memudahkan untuk sertifikasi petani kelapa sawit, Steni menambahkan pendekatan yurisdiksi juga bisa membuka kesempatan sertifikasi untuk komoditas lain. Ia katakan, biasanya petani kelapa sawit tak hanya menanam sawit tetapi juga komoditas lain yang punya nilai jual bagus.

“Saya kira pendekatan wilayah (yurisdiksi) itu akan membantu produk dari komoditas lain untuk mendapatkan label sertifikasi berkelanjutan, jadi sekali mendayung dua tiga pulau terlewati. Produk (komoditas) lain mereka tidak pusing lagi harus sertifikasi karena kita sudah melakukan dengan skala wilayah,” pungkasnya. (*)