Pontianak, Bisnissawit – Indonesia menjadi produsen kelapa sawit terbesar 16,6 juta Ha dengan produksi 48 juta ton dengan melibatkan 4,2 juta lapangan kerja langsung dan 12 juta lapangan kerja tidak langsung.
Kelapa sawit jika dilihat dari segi tren sangat meningkat, bahkan meningkatnya sangat luar biasa. Dalam kurun waktu 40 tahun sejak tahun 1970-an, ada 2 permasalahan yang selalu dipengaruhi oleh perekonomiannya.
Hal itu dikatakan oleh Mula Putera pada acara Kemitraan Kelapa Sawit di Pontianak, Kalimantan Barat Kamis (16/5). Acara yang diselenggarakan oleh BPDPKS dan Media Perkebunan ini mengusung tema “Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Tertinggal Sekitar Kebun”.
Dalam paparannya, Mula juga mengatakan beberapa hal tentang tantangan sawit rakyat dari sisi pemerintah.
“Seperti produktivitas rendah dari penggunaan benih atau pupuk, penerapan GAP yang tidak sesuai, kemudian sumber dayanya yang tidak capable atau yang tidak punya kemampuan, dan berada pada kawasan yang tidak semestinya, tidak punya legalitas lahan, lalu lahan dan saran tidak efektif dan efisien, modal dan agroinput, rantai pasok, dan terakhir hilirisasi”.
Bagaimana satu kemitraannya telah berjalan selama ini?. Mula Putera menyampaikan satu data yang dihimpun tentang perjalanan sawit di Indonesia. “Ternyata tren kenaikan perkebunan rakyat itu mengimbangi trend kenaikan luasan perusahaan perkebunan, yang artinya setiap luasan perkebunan swasta naik pasti punya petani naik”.
Histori perjalanan sawit di Indonesia itu mulai dari 4 bibit, bahkan pada tahun petani pada tahun 1979 itu hanya mempunyai lahan 3.000 ha, sekarang telah mencapai 7 juta ha.
Selain tantangan sawit, juga di jelaskan beberapa tantangan kemitraan dari segi karakteristik. “Komitmen para pihak, kemitraan itu ada 2 pihak yaitu ada perusahaan ada petani. Lalu akses perolehan tanah, tidak akan terjalin kemitraan perkebunan kelapa sawit jika tidak ada lahan” ujar Mula.
Menurut PP No. 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan, Kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan/atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
“Sehingga saya simpulkan Kemitraan itu adalah hubungan kerja sama antara perusahaan perkebunan dengan pekebun yang berkelompok, jadi tidak sendiri-sendiri termasuk karyawan juga,” ucap Mula.
Lanjut Mula, bentuk kemitraan ada tiga yaitu pertama kemitraan inti-plasma (ada wilayah, perusahaan, pabrik, petani, dan sarana prasarana), lalu kedua kemitraan pengolahan dan pemasaran hasil, dan terakhir yang ketiga kemitraan lainnya yaitu penyediaan sarana produksi, transportasi dan jasa pendukung lainnya.
“Dalam kemitraan intinya perspektif kita harus sama. Arahnya adalah 2 pihak (perkebunan rakyat dan perusahaan perkebunan) harus menyatu. Jadikan kemitraan itu adalah kerja sama atau bahasa inggrisnya collaboration bukan kompetisi” ucap Mula. (*)