Bisnissawit.com – Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) mengalami penurunan drastis pada tender perdana pasca-libur panjang Hari Raya Idul Fitri 1446 H. PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) mencatat penurunan tajam harga jual CPO dalam tender yang digelar Rabu, 9 April 2025, menjauh dari ambang Rp15.000 per kilogram dan kini bergerak di kisaran Rp14.200-an.
Tender ini menjadi perhatian lantaran terjadi setelah hampir dua pekan tidak ada aktivitas lelang akibat libur nasional Hari Besar Keagamaan (HBKN).
Penurunan harga yang cukup dalam ini juga disebut sejalan dengan prediksi para analis yang sebelumnya telah mewaspadai dampak dari kebijakan tarif impor baru dari Amerika Serikat, yang diumumkan oleh Presiden Donald Trump belum lama ini, dengan besaran bea masuk mencapai 32%.
Data dari tender menunjukkan seluruh penawaran berakhir dengan status withdraw (WD), menandakan tidak tercapainya kesepakatan harga antara penjual dan pembeli.
Harga penawaran tertinggi pun relatif rendah, berada di kisaran Rp14.170-an per kg. Kondisi ini tercatat di beberapa pelabuhan utama, termasuk Belawan (Sumatera Utara), Dumai (Riau), hingga Teluk Bayur, Pelaihari, dan Sei Tapung.
Contohnya:
- SAN Dumai: Harga WD Rp14.288, penawaran tertinggi Rp14.179 – turun Rp512 dari periode sebelumnya.
- SAN Belawan: Harga WD Rp14.288, penawaran tertinggi Rp14.179 – juga turun Rp512 dari harga sebelumnya.
- Pelaihari (Loco): Harga WD Rp13.734, penawaran tertinggi Rp13.025 – penurunan mencapai Rp682 dari tender terakhir.
Penurunan tajam ini dikhawatirkan akan berdampak langsung pada harga pembelian tandan buah segar (TBS) dari petani sawit, yang bisa mempengaruhi pendapatan petani pasca-lebaran.
Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi para pekebun, baik petani swadaya, mitra, maupun plasma, karena harga TBS umumnya mengikuti pergerakan harga CPO di tingkat lelang.
Dengan kondisi harga yang kian tertekan, tantangan bagi sektor sawit nasional semakin berat, terlebih saat pasar global tengah menghadapi dinamika proteksionisme dan pelemahan permintaan dari negara tujuan ekspor utama.