30 Januari 2024
Share:

Bisnissawit.comGanoderma merupakan jamur mematikan bagi komoditas kelapa sawit. Ganoderma bisa membuat kelapa sawit menipis bahkan habis pada tahun 2050 mendatang. Persoalan ganoderma disinggung oleh Dadang Gusyana selaku Ketua Bidang Agronomi P3PI pada Simposium Internasional Ganoderma yang diselenggarakan oleh Media Perkebunan, Perkumpulan Praktisi Profesional Perkebunan Indonesia (P3PI), Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) di Bandung, Selasa (30/01).

Dadang Gusyana menyatakan, diperkirakan tahun 2050 hingga 2100 produksi kelapa sawit bisa selesai alias tidak berkelanjutan karena serangan ganoderma. Ternyata, hal ini juga sebelumnya sudah pernah disinggung oleh Russel M Peterson dalam risetnya yang berjudul Ganoderma Boninense Diseases of Oil Palm to Significantly Reduce Production After 2050 in Sumatera if Projected Climate Changes Accour.

“Apakah hanya di Sumatera? Ganoderma kini tidak lagi menyerang tanaman kelapa sawit generasi kedua, tapi juga telah menyerang kelapa sawit generasi pertama. Jamur ganoderma telah menyebar kemana-mana melalui udara, termasuk ke areal tanaman kelapa sawit baru,” jelas Dadang Gusyana, Selasa (30/1).

Ia menambahkan, kondisi Indonesia ini berbeda dengan negara tetangga seperti Malaysia, di Indonesia data total luas lahan sawit yang terkena penyakit busuk pangkal batang atau genoderma belum diketahui.

“Ada yang menyebutkan sekitar 200.000 hektare meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, dan Kalimantan Tengah. Data dari pengamatan dinas perkebunan di lahan sawit milik petani. Total luas lahan sawit yang terserang sekitar 2.428 hektare dengan nilai kerugian Rp3,6 miliar,” ujar Dadang.

Namun, hal ini bukan berarti ganoderma tak bisa dicegah. Dadang menyebutkan masih ada secercah harapan karena prinsipnya ganoderma tidak akan masuk atau menyerang tanaman jika tanaman tersebut tidak sehat.

Baca Juga:  Daftar Perguruan Tinggi Program Beasiswa Kelapa Sawit 2024

“Secara biologis ganoderma tergolong pada kelompok cendawan yang lemah. Serangan pada kelapa sawit menjadi dominan karena terjadi ketidakseimbangan agroekosistem di perkebunan kelapa sawit dan tidak adanya cendawan kompetitor dalam tanah, akibat menurunnya unsur hara organik dalam tanah dan aplikasi herbisida yang tidak bijaksana,” tutupnya. (Adhita Diansyavira)